Generasi dan Cengkeraman Digitalisasi

  • Whatsapp

SEMENJAK pandemi COVID-19 melanda dunia, tidak bisa dipungkiri bahwa semua aktivitas manusia akhirnya beralih ke ranah digital. Dimulai dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga platform digital menjadi ruang utama pembentukan kesadaran terutama generasi muda, generasi yang paling intens hidup di ruang digital.

Oleh : Winda Oktavianti

Bacaan Lainnya

Pemerhati Digitalisasi

Kondisi ini memunculkan hal-hal yang positif dan negatif pada anak-anak muda hari ini (Gen Z). Hal positifnya yaitu banyak bermunculanya fenomena gerakan untuk perubahan yang diinisiasi anak-anak muda. Gen Z yang sejak awal hidupnya berinteraksi melalui media sosial muncul sebagai aktor politik baru yang memelopori gerakan protes dalam waktu cepat.

Dalam satu decade ini kita melihat bagaimana kaum muda peduli isu kemanusiaan, dari Palestina, konflik global, isu moral publik, hingga keadilan sosial. Platform digital memberi mereka kekuatan untuk membangun kesadaran akan ketidakadilan dan penindasan serta solidaritas secara cepat dan masif. Aktivisme digital ini bersambung ke ruang nyata melalui aksi jalanan yang luas.

Di sisi lain kita juga khawatir akan kondisi generasi kita. Headline media dipenuhi berita persoalan yang menimpa gen Z. Resiko interaksi dengan platform digital, terutama medsos telah memunculkan problem serius, mulai dari menjadi korban pinjol, judol, kekerasan seksual, perundungan digital hingga masalah isu kesehatan mental.

Apa yang menimpa generasi kita, terutama generasi muslim saat ini, harus dipahami mereka tumbuh dalam ruang digital yang dipengaruhi paham sekuler. Media sosial Adalah tempat yang membuat standar benar dan salah diputuskan menurut mayoritas pengguna.

Hal ini akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental generasi muda, karena mereka merupakan kelompok yang rentan terpapar pengaruh digitalisasi dan konten media sosial. Tanpa terasa, generasi kita telah dididik dengan nilai, cara pandang bahkan gagasan politik yang lahir dari sekulerisme lewat mekanisme platform.

Algoritma memperkuat nilai sekuler dengan memasukkan pengguna dalam lingkaran konten individualistik, materialistik, relativistik, liberal, konsumtif. Karena konten yang bertentangan dengan ini jarang muncul, pengguna menganggap nilai-nilai tersebut sebagai “normal” dan “universal”.

Hegemoni kapitalisme kini makin terlihat merusak generasi muda. Banyak anak muda merasa bahwa hidup sekadar untuk ikut tren, punya barang bagus, dan tampil sempurna. Nilai-nilai penting seperti empati, kebersamaan, dan jati diri malah makin hilang karena adanya tekanan untuk terlihat sukses. Pemuda muslim hari ini sangat jauh dari Islam.

Pandangan dan perbuatan mereka berkiblat kepada peradaban Barat. Mereka terlihat bangga ketika membicarakan pemikiran-pemikiran asing, tetapi ragu Ketika menyuarakan Islam. Mereka takut disebut konservatif dan sebagainya. Perbuatan maksiat yang mereka lakukan tidak kalah mengerikan, mulai dari perzinaan, narkoba, minuman keras, hingga pembunuhan.

Hilangnya jati diri pemuda muslim merupakan buah dari ditinggalkannya Islam dalam aspek kehidupan. Alhasil, terbentuklah generasi yang jauh dari kepribadian Islam, baik pemikiran maupun perbuatannya. Agar kondisi ini tidak makin parah, solusinya harus sistematis. Pendidikan perlu mengajarkan literasi digital dan ekonomi yang benar.

Media harus berhenti menjual standar hidup palsu. Keluarga dan komunitas harus menjadi tempat aman bagi anak muda untuk berkembang. Jika semua pihak berjalan beriringan, mereka bisa lebih kuat dan tidak mudah terseret arus kapitalisme.

Oleh karenanya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengkader dan mewujudkan kembali pemuda muslim yang berkepribadian Islam dan siap menjadi pelopor perubahan dengan membina diri mengkaji Islam secara kaffah.(*)

Pos terkait