Kota Banda Aceh, SpiritNews-Meski tidak pernah berharap untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, namun untuk kepentingan bersama, pemberian gelar itu sangat penting agar perjuangan para pahlawan menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang dan di masa mendatang, sehingga nilai kepahlawanan itu senantiasa diteladani masyarakat.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dalam sambutannya saat membuka ‘Seminar Laksamana Malahayati sebagai Pahlawan Nasional” di ruang Potensi Daerah Setda Aceh, Kamis (3/8/2017).
“Penggalian terhadap kisah perjuangan para pahlawan sudah semestinya dilakukan terstruktur dan sistematis, agar jasa mereka tidak dilupakan oleh generasi mendatang,” kata Nova.
Nova berharap, seminar ini memberi pencerahan tentang kepahlawanan Laksamana Malahayati dalam mempertahankan kedaulatan negeri, sehingga dapat melahirkan rekomendasi agar ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
“Saya mengapresiasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan kehadiran Ibu Titin Pamudji, selaku Sekjen Kowani Pusat yang sudah berhadir dan telah menginisiasi dan bersusah payah merealisasikan sebuah gagasan hebat untuk mengusulkan Laksamana Malahayati sebagai Pahlawan Nasional karena beliau memang layak menyandang gelar Pahlawan Nasional,” jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, ia menginstruksikan seluruh instansi terkait untuk menginventarisir dan mengadvokasi sejumlah syuhada Aceh untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Masih banyak nama pejuang lain belum ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, meski dalam sejarah perjalanan bangsa, nama-nama mereka selalu disebut sebagai tokoh nasional.
Saat ini, secara nasional Indonesia baru memiliki 168 orang Pahlawan Nasional dan dari jumlah tersebut hanya ada 12 orang Pahlawan Perempuan. Dan, dari sekian banyak pejuang kemerdekaan di Aceh, hingg saat ini hanya ada tujuh orang yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, yaitu Tgk Chik di Tiro (1836-1891), Teuku Umar (1854-1899), Sultan Iskandar Muda (1590-1636), Cut Nyak Dhien (1848-1908), Cut Nyak Meutia (1870-1910), Teuku Nyak Arief (1899-1946), dan Teuku Muhammad Hasan (1906-1997).
“Tak terbantahkan lagi, bahwa di Aceh banyak sekali terdapat para mujahid yang berjuang hingga mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari invasi para penjajah. Salah satunya adalah Laksamana Malahayati. Namunbelum semua jejak perjuangan beliau dapat kita gali secara mendalam,” ujarnya.
Ia menegaskan, forum-forum ilmiah untuk menelurusi lebih jauh tentang kisah perjuangan pahlawan yang luar biasa ini harus lebih sering dilakukan, karena seminar akademik adalah salah satu syarat untuk mengajukan seseorang menjadi Pahlawan Nasional.
“Hasil seminar ini bisa melahirkan catatan sejarah tentang kisah Mahalayati dan pasukan inong baleenya. Selanjutnya kita mengusulkan kepada Pemerintah untuk menetapkan Laksamana Malahayati sebagai pahlawan nasional. Mudah-mudahan tahapan itu dapat kita mulai dari seminar ini, sehingga proses pengusulan ini benar-benar didukung kajian ilmiah yang mendalam dan dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah,” ucapnya.
Sementara itu, untuk menghindari polemik yang akan terjadi di kemudian hari, Nova Iriansyah merekomendasikan untuk menggelar seminar lanjutan terkait visualisasi Laksamana Malahayati.
Sejarah Singkat Laksamana Malahayati
Dari sekian banyak pejuang bangsa di Aceh, salah satu yang banyak tercatat dalam sejarah adalah Keumalahayati atau Malahayati, yang merupakan laksamana perempuan pertama di dunia.
Sejumlah literatur membuktikan bagaimana Malahayati tampil sebagai sosok yang menakutkan bagi pasukan Belanda dan Portugis saat mereka berupaya menancapkan kekuasaannya di Tanah Rencong.
Dari silsilah keturunannya, Malahayati masih merupakan keluarga kesultanan Aceh, sebab ia adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah pada tahun 1530-1539.
Suaminya juga termasuk seorang pahlawan yang begitu gigih berjuang mengusir Belanda dari tanah Aceh, hingga akhirnya meninggal ditembak musuh bersama ribuan pejuang Aceh lainnya. Kematian para pejuang itu menyebabkan banyaknya wanita Aceh yang menjadi janda.
Malahayati tidak ingin hanya tinggal diam melihat situasi itu. Ia kemudian membentuk pasukan khusus inong balee, yang anggotanya sebagian besar para janda. Mereka angkat senjata dan menggelorakan perang gerilya di wilayah laut Aceh. Berkali-kali perang antara pasukan inong balee berkobar melawan pasukan penjajah Belanda.
Dari sekian banyak cerita heroik tentang Malahayati, salah satunya adalah cerita pertarungannya melawan komandan pasukan Belanda yang terkenal kejam, yaitu Jenderal Cornelis de Houtman.
Pertarungan itu berakhir dengan tewasnya de Houtman di ujung pedang Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599. Peristiwa itu sempat membuat geger negara-negara Eropa, khususnya Kerajaan Belanda. Akibatnya, Malahayati ditetapkan menjadi orang yang paling diburu oleh pasukan penjajah itu.
Perjuangan Malahayati terhenti sekitar tahun 1606, setelah ia gugur saat bertempur melawan pasukan portugis di Perairan Selat Malaka. Ia dimakamkan di lereng Bukit Lamkuta, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.(mah)