Kota Banda Aceh, spiritnews.co.id – Memilih perwakilan rakyat mulai dari tingkat DPRK, DPRA, DPD bahkan DPR RI pada Pemilu 14 Februari 2024 akan menjadi penentu nasib rakyat selama lima tahun berikutnya. Jika rakyat memilih yang punya track record kepedulian, komitmen terhadap persoalan kerakyatan dan dapat dipercaya tentunya akan menghadirkan kebaikan kepada rakyat.
Namun, jika rakyat malah tertipu oleh bahasa manis caleg apalagi memilih caleg dengan track record mantan narapidana korupsi maka tentu dampaknya juga akan dirasakan kembali oleh rakyat sebagai pemilik suara.
“Kita mengajak semua rakyat Aceh untuk tidak memilih caleg dengan track record mantan narapidana korupsi baik itu ditingkatan DPRK, DPRA maupun DPR RI. Namanya saja wakil rakyat yang terhormat. Jadi yang duduk itu harus orang yang terhormat dan punya integritas dan kapabilitas. Jadi para mantan koruptor ini tidak layak untuk di pilih,” kata Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh, Mahmud Padang, Jumat (01/12/2024).
Meskipun ada aturan perundang-undangan yang memberi ruang atau karpet merah bagi mantan koruptor untuk nyaleg, namun apapun alasannya mereka tidak layak untuk di pilih.
“Bukan persoalan caleg itu bertobat atau katakanlah kalimat tidak layak ini ditafsirkan sebagai sesuatu yang menghalang-halangi hasrat politik seseorang. Bukan juga soal diberi karpet merah atau tidak. Ini masalah moral, adab, dan integritas. Masalah sudah bertobat atau tidak itu masalah dia dengan Tuhan, namun catatan hitam pernah merampas uang rakyat berkemungkinan akan terus dilakukan ketika diberikan amanah dan kesempatan,” katanya.
Di satu sisi, kata Mahmud, harus mengedepankan etika politik. Dalam berpolitik itu kan ada yang namanya elektabilitas, integritas, kapabilitas seseorang. Bagaimana logikanya kalau mantan maling ini menjadi wakil rakyat.
“Sekali lagi ini menyangkut etika atau adab. Kesimpulannya mereka ini tidak layak dipilih dan duduk sebagai wakil rakyat,” ujarnya.
Memang, para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg sebab pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
“Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana,” paparnya.
Namun, apapun itu kita berharap rakyat Aceh tak memilih mantan maling uang negara untuk menjadi wakilnya. “Rakyat harus cerdas. Jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai. Lihatlah rekam jejak dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d itangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para mantan narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” tegasnya.
Tak sebatas itu, mahasiswa juga mengajak masyarakat tidak memilih partai yang mengusung dan memberi karpet merah kepada mantan koruptor sebagai caleg.
Dia menilai komitmen antikorupsi parpol yang masih mengusung eks koruptor sebagai caleg hanyalah “manis di lidah”. Parpol yang masih ngotot mengusung caleg mantan napi korupsi, berarti partai tersebut tidak punya komitmen bersih-bersih. Mereka hanya menjadikan antikorupsi sebagai tagline politik saja dan tanpa implementasi.
Menurutnya, Pemilu kali ini adalah kesempatan rakyat Aceh khususnya menghukum para mantan koruptor dengan tidak memilihnya.
“Ayo kita tunjukkan kita adalah masyarakat Aceh yang memiliki marwah, cerdas dan tidak membiarkan mantan maling mewakili kita sebagai rakyat. Tentunya dengan cara tidak memilih mantan narapidana pidana korupsi sebagai anggota DPR di berbagai tingkatan,” jelasnya.
Tak hanya itu, Mahmud juga mengingatkan agar masyarakat tak tertipu dengan pemberian caleg yang bersumber dari uang negara seperti dari APBA, APBK, APBN atau bahkan CSR BUMN.
“Itu memang sudah haknya rakyat, bahkan seharusnya hak rakyat itu lebih namun diberi sebagian untuk pencitraan agar dipilih. Dalam hal ini caleg-caleg yang punya kewenangan tertentu menggunakan fasilitas dari negara ini untuk kepentingan pribadinya,” ujarnya.
“Caleg-caleg yang menggunakan sumbangan dari uang negara untuk kepentingan pencitraan pribadinya ini juga bagian dari memanfaatkan kekuasaannya untuk membohongi rakyat. Jadi rakyat juga harus cermat, yang mana sumbangan karena kemurahan hati dari pribadi dan yang mana sumbangan yang sumber uangnya juga dari uang rakyat,” ungkapnya.(mah/sir)