Pencerahan Hukum Terkait Dondon Tua

DONDON TUA, jika diartikan adalah ketiban rejeki (tertimpa kebahagiaan/kebaikan). Secara adat, Dondon Tua merupakan pemberian sebidang tanah atau sawah kepada pahompu (cucu) paling sulung dari putra sulungnya, dengan harapan agar keturunannya dapat hidup sejahtera dan mewarisi berkat “sahala” (kharisma) keberhasilan/kemakmuran atau nasib baik dari ompungnya.

Penulis : DR. Drs. Banuara Nadeak, S.H., M.M., CPM. CML. CPC. CPArb. CPA. CPLI. CPLE

Bacaan Lainnya

Advokat/Pengacara

Sebaliknya, pahompu (cucu) dapat menghormati dan mengikuti teladan ompungnya. Dalam ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh : Tanah (hauma pauseang) Nasi Siang (Indahan Arian) warisan dari Kakek (Dondon Tua) tanah sekadar (Hauma Punsu Tali).

Dalam tatanan pelaksanaan dahulu bahwa pembagian warisan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu sebagai penerus, yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lainnya dibagi rata oleh semua anak  laki-lakinya.

Dalam pelaksanaan Hukum Adat Batak bila melakukan transaksi ekonomi seperti bola pinang, sindor, dondon, dondon pate, dan manuhor pate hanya berlaku di antara saudara sekampung dan sedarah. Bila tidak mampu baru diperbolehkan menjual kepada saudara semarga yang tingkatan hubungan darahnya sudah agak lebih jauh. Semua transaksi baru boleh dilaksanakan bila raja huta dan perwakilan orang tua (panungganei) telah menyetujui.

Pencerahan Hukum

Di dalam KUHPerdata (BW), pasal 830 dinyatakan bahwa: “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Dalam penjelasan tersebut maka ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian tentang unsur-unsur pewarisan :

  1. Seorang peninggal warisan (erfrater), yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan.
  2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam), yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
  3. Harta warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.

Berdasarkan KUHPerdata (BW) syarat-syarat pewarisan adalah sebagai berikut :

1. Untuk terjadinya pewarisan maka sipewaris harus sudah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 830 KUHPerdata. Dalam hal ini matinya pewaris dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu :

a) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indera bahwa ia telah benar-benar mati.

b) Mati demi hukum, dinyatakan oleh pengadilan, yaitu tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.

2. Syarat yang berhubungan dengan Ahli Waris orang yang berhak atau ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

a) Hidup secara nyata, yaitu menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indera.

b) Hidup secara hukum yaitu tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi yang dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUHPerdata).

(*)

Editor: Lassarus Samosir, SE

Pos terkait