Kota Banda Aceh, spiritnews.co.id – Indikasi Mega Korupsi proyek tahun jamak (multiyears contract) dengan pagu anggaran mencapai Rp 2,7 triliun yang terdiri dari 11 ruas jalan penghubung antar daerah dan satu waduk serta Pengadaan Kapal Aceh Hebat sebesar Rp 178 miliar hingga saat ini masih misteri. Pasalnya setelah dilakukannya pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini kasus itu masih menggantung tanpa kejelasan.
Ibarat kata pepatah, dari hulunya memang sudah keruh hingga ke hilirpun ikut keruh. Begitulah yang terpajang jelas di hadapan masyarakat Aceh terkait proyek MYC dan pengadaan Kapal Aceh Hebat yang mulai sejak sistem penganggaran dan penandatanganan nota kesepahamannya bermasalah hingga pelaksanaan tender dan pelaksanaan pekerjaannya ditemukan berbagai persoalan.
Jika dilihat dari awal, jelas-jelas adanya mekanisme penganggaran yang dilanggar, dimana Nota kesepahaman (MoU) proyek multiyears 2020-2022 itu tidak diputuskan dalam sidang paripurna, hanya disepakati oleh Plt Gubernur dan pimpinan DPRA pada akhir 2019 lalu, dan tidak melibatkan anggota DPRA lainnya. Adapun pimpinan DPRA yakni Muhammad Sulaiman, SE. M.S.M, Dalimi, SE. Ak, Teuku Irwan Djohan, ST, dan Drs. H. Sulaiman Abda, M.Si.
“Tentunya menjadi tanda tanya, apa dasar para pimpinan DPRA saat itu menandatangani MoU proyek triliunan rupiah itu bahkan mengabaikan koleganya dan tidak membahasnya secara kolektif di DPRA. Ironisnya lagi, dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) hingga penandatanganan MoU KUA-PPAS, 10 September 2019, tidak ada anggaran untuk proyek multy years yang muncul kemudian dalam APBA 2020, bahkan Komisi IV DPRA saat itu sudah mengeluarkan rekomendasi menolak penganggaran proyek MYC,” kata Koordinator Gerakan Mahasiswa Peduli Aceh (GeMPA) Arianda Ramadhan kepada spiritnews.co.id, di Banda Aceh, Jum’at (21/6/2024).
“Jelas-jelas disini keempat pimpinan DPRA saat itu sudah mengangkangi berbagai prosedur penganggaran dan sangat berani menandatangani nota kesepahaman. Katakanlah Wakil Ketua DPRA Dailami karena harus mengikuti arahan Gubernur Nova Iriansyah yang saat itu juga ketua Demokrat, lalu bagaimana dengan Sulaiman Abda dan Irwan Djohan, kenapa berani menandatangani MoU yang cacat regulasi tersebut, apa motif dibalik itu? Tentunya ini menjadi pertanyaan publik,” tambahnya.
Dikatakan, pihak penegak hukum wabilkhusus KPK dan Kejaksaan Agung seharusnya menjejaki kemungkinan adanya indikasi suap atau gratifikasi dalam penandatangan MoU Proyek Triliunan rupiah tersebut.
“Apa mungkin ada transaksional atau barter kepentingan ataupun suap menyuap sehingga keempat pimpinan dewan itu begitu berani menandatangani nota kesepahaman proyek tahun jamak yang cacat secara regulasi dan prosedur itu. Jadi, itu semua itu sejak awal proses harus diusut tuntas oleh KPK ataupun Kejagung,” katanya.
Menurutnya, salah satu persoalan yang selama membuat Aceh terus-terusan bertahan sebagai daerah termiskin di Sumatera salah satunya dikarenakan tingginya angka korupsi. Bisa dikatakan, indikasi mega korupsi di Aceh menjadi salah satu penyebab Aceh terus bertahan di angka teratas kemiskinan di Sumatera, pasalnya uang triliunan rupiah yang semestinya dinikmati rakyat justru hanya berputar di lingkaran elit saja.
“Masyarakat pernah berharap banyak kepada KPK agar indikasi megakorupsi di Aceh tersebut, sehingga anggaran yang melimpah itu dapat dipergunakan untuk menekan angka kemiskinan. Tapi sayangnya triliunan rupiah indikasi korupsi di Aceh hingga saat ini masih menggantung begitu saja,” jelasnya.
Ariyanda menambahkan, masyarakat Aceh tentunya berharap agar upaya pemberantasan korupsi di Aceh tak berjalan setengah hati, apa gunanya otsus Aceh jika pada akhirnya hanya jadi ladang pundi-pundi bagi para sindikat koruptor.
“Jangan sampai yang dibidik hanya kasus korupsi kelas teri, sementara indikasi megakorupsi seperti Proyek MYC yang mencapai Rp 2,7 Triliun dan Pengadaan Kapal Aceh Hebat sebesar Rp 178 M hanya sebatas pemeriksaan tanpa kejelasan. Sejak proses penganggaran dan penandatanganan MoU nya sudah bermasalah, belum lagi jika dilihat dari tender dan pelaksanaan kegiatannya, tapi sayangnya KPK terkesan harus bungkam seribu bahasa dan Kejagung yang katanya ingin menelusuri penyelewengan dana otsus Aceh juga belum bertindak,” ungkapnya.(rls/mah/sir)