Kabupaten Demak, spiritnews.co.id – Selama ini nelayan kecil tradisional di Kabupaten Demak, kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) subsidi karena infrastruktur jalan tidak mendukung. Dan ini sudah menjadi permasalahan menahun, hingga kini tak jelas penyelesaian.
“Selain permasalahan infrastruktur, persoalan BBM ini sering terjadi karena minimnya pengawasan penyerapan BBM subsidi. Saat ini, banyak nelayan kecil tradisional kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi, kalaupun dapat harganya cukup,” kata Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Demak, Mohammad Syafil, kepada dalam rilis yang diterima spiritnews.co.id, Sabtu (23/1/20201).
Dikatakan, alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak tidak berpihak kepada nelayan kecil tradisional. Sehingga pemerintah tidak bisa membangun akses jalan pendukung.
“Pengawasan pendistribusian BBM bersubsidi lemah. Jangan sampai kuota ditambah, namun yang mengakses bukan nelayan kecil tradisional. Syukur-syukur nelayan dipercaya untuk mengelola SPBN sendiri, melalui koperasi-koperasi nelayan misalnya. Akan tetapi dalam hal ini perlu juga disokong dengan permodalan dan pendampingan, agar benar-benar berkelanjutan,” katanya.
Di Kabupaten Demak, kata Syafil, sudah ada tiga desa yang terbilang mudah mengakses BBM yakni nelayan di Desa Morodemak, Purworejo dan Margolinduk. Nelayan di tiga desa ini mudah mengakses BBM karena jaraknya memang dekat dengan SPBU di Pelabuhan Perikanan Morodemak.
“Sedangkan nelayan di Desa Betawalang, Sekelting, Gojoyo, Serangan, Tambak Bulusan dan Pandansari harus menempuh jarak 20 kilometer ke SPBU Karang Melati atau SPBU Pelabuhan Purworejo atau yang dikenal Pelabuhan Morodemak, untuk mengakses BBM,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakan, karena jarak yang begitu jauh maka para nelayan terpaksa membeli bahan bakar kepada tengkulak-tengkulak yang harganya mencapai 7.000 – 8.000 per liter. Yang lebih parah, para nelayan mempunyai hutang kepada tengkulak karena para nelayan kekurangan modal.
“Mau tidak mau, nelayan harus membeli ketengkulak. Tidak sampai disitu, para nelayan yang memakai BBM jenis bensin (pertalit dan premium) sangat kesulitan mengakses BBM jenis tersebut karena ketidak-hadiran SPBU dekat sandar perahu nelayan. Akhirnya para nelayan kecil terpaksa membeli kepada tengkulak-tengkulak dengan harga Rp 9.000 – 11.000 per liter,” ujarnya.
“Mungkin akan beda ceritanya jika para nelayan mempunyai SPBN yang dikelola oleh koperasi nelayan. Itupun tak lepas dari kerja sama antara koperasi nelayan dengan pemerintah terutama dalam pembinaan usaha dan permodalan,” tambahnya.(rls/red)