UBI societas ibi ius adalah ungkapan yang tercatat pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang filsuf, ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma.
Pandangannya tentang aliran interaksi dalam masyarakat dan pembentukan struktur hukum membawanya pada kesimpulan bahwa setiap masyarakat mutlak menganut hukum, baik disengaja ataupun tidak.
Oleh : EV.DR.Drs. Banuara Nadeak, MM
DOSEN PASCA SARJANA MM UNSIKA Karawang
Ubi societas ibi ius sebagai konsekwensi bila melanggar norma, kaedah masyarakat mendapatkan Sanksi moral yang mana jauh lebih terasa. Maka dengan itu masyarakat pada umumnya yang selalu berintraksi secara holistis dapat belajar tentang hukum.
Deskripsi Asas ne bis in idem suatu gambaran dalam menegakkan supermasi hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa Pasal 27 ayat 1 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Kemudian adanya persamaan dihadapan hukum (Equality before the law). Dimana bahwa persamaan dihadapan hukum adalah asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama. Hukum juga menimbulkan persoalan penting dan kompleks tentang kesetaraan, kewajaran, dan keadilan. Kepercayaan pada persamaan dihadapan hukum disebut egalitarianisme hukum.
Tataran Hukum Pidana dan Perdata sebagai implementasi asas ne bis in idem dalam tataran hukum pidana dan hukum perdata bagi para penegak hukum dapat menyadari dalam mewujudkan/ mencapai tujuan hukum adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan oleh terdakwa dan kemanfaatannya dapat dirasakan.
Untuk itu bahwa asas ne bis in idem adalah asas hukum dimana melarang seseorang yang dinyatakan terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
Asas ne bis in idem dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) antara lain:
1) Pasal 76 ayat 1 KUHP yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem bagi orang yang mendapat putusan bebas(vrijsspraak), lepas (onstlag van alle rechtvolging) atau pemidanaan (veroordeling).
2) Pasal 1917 KUH Perdata yang berbunyi Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan dengan untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.
Berdasarkan Surat Edaran MA No.3 tahun 2002 Tentang Penanganan perkara yang berkaitan dengan Asas ne bis in idem, dihimbau dan dintruksikan agar para Hakim memperhatikan dan menerapkan asas ne bis in idem dengan baik dan benar untuk menjaga kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi putusan yang berbeda.
Sebagai contoh Putusan MA No.497 K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 menyatakan “karena terbukti perkara ini pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Surakarta, maka gugatan penggugat tidak dapat diterima”.
Mengenai Asas ne bis in idem terkait dengan pengujian oleh MK dimana terdapat dalam pasal 60 ayat 1 UU 8 tahun 2011 yaitu perubahan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Asas ne bis idem tersebut yaitu materi muatan ayat,pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Kesimpulan
1) Bahwa Asas nebis in idem tujuan adalah menjaga kepastian hukum bagi pencari keadilan dan kemanfaatannya jelas
2) Asas nebis in idem mengingatkan para Hakim untuk bagi terdakwa dilarang diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya
3) Asas nebis in idem menegaskan bahwa terhadap kasus yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.(*)