ISU mengenai keterlibatan kaum wanita, khususnya di Indonesia, sejak dulu selalu menjadi bahasan yang tidak pernah habis untuk diperbincangkan.
Penulis : Rr Dinar Soelistyowati
Dosen FIKOM Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta
Mulai dari isu perihal emansipasi wanita di era R. A. Kartini untuk mendapatkan kesejajaran posisi sosial masyarakat baik dalam perspektif maupun implementasinya di dalam kehidupan sosial masyarakat, hingga kesetaraan hak dengan kaum pria dalam hal perkembangan hidupnya.
Gambaran kondisi ini secara mendasar merupakan refleksi dari apa yang disebutkan oleh Simone Du Beauvoir sebagai konsep esensialisme. Melalui perspektif ini, dirinya menjelaskan bahwa perempuan memiliki dasar biologis yang secara moral dan rasional berbeda dari laki-laki.
Atas dasar tersebut, wanita cenderung dideskripsikan sebagai makhluk yang beremosi dan hanya berperan untuk membesarkan anak. Berbeda dengan kaum pria yang memiliki rasional sehingga dianggap sebagai makhluk yang lebih berbudaya karena berperan sebagai kepala keluarga sehingga lebih memiliki pengaruh dalam keluarga dan cenderung lebih memiliki kuasa lebih dalam memerintah masyarakat.
Seiring dengan berkembangnya budaya sosial di tengah kehidupan masyarakat, secara negatif kaum pria merasa mampu menguasai perempuan dengan mitos-mitos seperti tindakan yang irasional, kondisi mental yang kompleks, kecenderungan wanita yang sulit untuk dipahami dan lain sebagainya.
Seiring dengan pergantian jaman, secara perlahan namun pasti, keberadaan dan keterlibatan wanita saat ini mulai memperoleh tempat serta menjadi sosok yang penting dan berpengaruh dalam perkembangan keseimbangan sosial masyarakat di masing-masing bidangnya.
Kita bisa lihat keterlibatannya saat ini di semua aspek sosial, terlepas apa pun posisi dan jabatan yang saat ini diterima oleh masing-masing wanita. Dari yang dianggap hanya sekedar pengasuh, wanita saat ini dianggap sebagai sosok yang turut membantu dalam perkembangan terhadap sejumlah fenomena dan tren sosial di Indonesia. Kita pun bisa lihat contohnya, mulai dari yang berprofesi sebagai guru hingga menempati posisi eksekutif di dalam jajaran pemerintaham.
Ini merupakan bukti konkrit dari transendensi feminisime di mana wanita dapat bekerja, menjadi bagian dari anggota intelektual, melakukan transformasi dalam masyarakat, mentransendensikan batasan-batasan kewanitaannya dan menolak menginternalisasikan diri sebagai ancaman bagi laki-laki, serta menjadi diri sendiri dalam masyarakat dengan memanfaatkan waktunya untuk melakukan kegiatan yang kreatif dan berorientasi kepada masyarakat.
Namun, tampaknya perkembangan ini mengalami kemajuan yang terlalu pesat hingga turut memiliki pengaruh dalam hal-hal yang negatif, mulai dari yang isu-isu tabu seperti pornografi hingga pada isu-isu radikal seperti terorisme.
Mendengar kata terorisme, hal-hal yang terpikirkan oleh masyarakat Indonesia secara umum adalah tindakan yang berbahaya dan merusak tatanan sosial masyarakat. Tentunya ini secara mendasar sangat melekat dengan keterlibatan kaum pria secara totalitas. Gerakan ini sendiri telah menjadi sebuah gerakan kelompok yang mengancam keselamatan, keamanan, dan ketahanan nasional.
Namun, di dalam praktik yang sebenarnya, perempuan juga mulai ikut andil dan berperan dalam kegiatan ini, baik itu hanya sekedar diperintah sampai dengan memberikan pengaruh kepada para pelaku, keikutsertaannya secara praktis di dalam kelompok, bahkan ada beberapa kelompok terorisme yang menjadikan wanita sebagai inisiator pergerakannya.
Fakta seperti ini tentu sangatlah mengejutkan sekaligus disayangkan, mengingat peranan dan pengaruhnya terhadap sejumlah perkembangan bidang sosial masyarakat di Indonesia. Ini kemudian memunculkan dualisme dalam feminisme, yakni bagaimana konsep asli dari strategi transendensi dan bagaimana ini dapat mengalami penyimpangan.
Pada dasarnya, transendensi dalam feminisme muncul akibat dorongan kaum wanita untuk keluar dari anggapan bahwa mereka adalah objek bagi kaum laki-laki dalam budaya patriarki karena akan menyebabkan kecenderungan untuk tidak bisa menjadi otentik dan tidak reduktif sehingga teralienasi.
Untuk itu, ada tiga strategi yang diajukan oleh Beauvoir untuk memajukan kaum wanita. Pertama, wanita diharuskan untuk bekerja untuk dapat mengembangkan diri dan mengubah posisinya dirinya sebagai subjek. Kedua, wanita diharuskan untuk terus belajar untuk menjadi sosok intelek untuk menjadikan wanita sebagai pribadi yang bebas dan juga sebagai bekal untuk menghadapi patriakisme yang cenderung melecehkan kaum wanita.
Ketiga, perempuan diharuskan menjadi pelaku tindakan demi transformasi sosial agar tidak senantiasa menjadi sasaran eksploitasi oleh kaum kapitalis.
Akan tetapi, seiring dengan berbagai tren yang berkembang saat ini, fenomena, dan konflik sosial khususnya yang berkenaan langsung dengan isu feminisme membuat strategi transendensi ini menjadi terlalu dominan.
Dominasi ini, bercampur dengan isu-isu lain seperti agama, politik, dan batasan gender lainnya, membuat feminisme mengalami penyimpangan dalam hal implementasinya di dalam kehidupan sosialnya.
Keinginan kaum wanita menjadi sebagai subjek mulai disalahartikan sebagai pribadi yang otoriter, begitu juga dengan kehadirannya sebagai sosok intelek yang dipahami bukan sebagai sosok yang memiliki kecerdasan untuk mengembangkan diri, tetapi lebih cenderung sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk mengintimidasi dan menguasai, dan juga perannya sebagai pelaku transformasi sosial yang lebih bertujuan untuk menghakimi kelompok elit secara sepihak dengan penggunaan metode yang ekstrim.
Ini kemudian yang menyebabkan feminisme itu sendiri mengalami penyimpangan dalam hal bagaimana mereka mengekspresikan diri dalam suatu kelompok.
Untuk itu, pemahaman yang mendalam serta metode pendekatan yang tepat perlu dilakukan demi menanggapi peran dan pengaruh keterlibatan wanita di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang saat ini semakin dinamis.
Pemahaman akan pentingnya peran wanita di dalam perkembangan dan kemajuan bangsa yang krusial namun rentan akan berbagai gangguan sosial.
Kita harus pahami dengan benar posisi wanita dalam keterlibatannya di dalam lingkungan sosial, begitu pula dengan bagaimana kita memahami sosoknya yang intelek dalam berinteraksi, baik itu pada konteks mikro seperti komunikasi antarpribadi hingga pada konteks makro seperti komunikasi organisasi, serta bertindak sebagai pelaku perubahan sosial yang menuju kepada reformasi aktualisasi diri secara serempak di masing-masing bidangnya.
Pemahaman seperti ini bisa diwujudkan dengan melakukan pendekatan khusus, seperti melakukan restrukturisasi feminitas di beberapa bidang infrastruktur negara, khususnya pada bidang sosial, politik, dan ekonomi agar tercipta tatanan kehidupan sosial yang mapan dan menjadikan hukum negara sebagai pedoman hidup khususnya bagi wanita itu sendiri.(*)