SEJAK AWAL KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Mandailing Natal dan di Medan, Sumatera Utara, yakni pada Kamis (26/6/2025), KPK selalu menyebut menangkap 6 (bukan 7) orang.
Penulis : Sutrisno Pangaribuan
Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikannya dalam konperensi pers, Sabtu (28/6/2025), bahwa para pihak tersebut terdiri dari penyelenggara negara dan pihak swasta. OTT tersebut berkaitan dengan korupsi pembangunan jalan proyek Kementerian PU, dan Dinas PUPR Sumut.
Semula beredar informasi bahwa 1 orang yang dilepas diduga juga terlibat aktif dalam proses suap, namun karena campur tangan orang- orang kuat di Jakarta, orang keenam akhirnya dilepas dan disebut sebagai saksi. Namun seminggu kemudian, Juru Bicara KPK meralat pernyataannya tentang jumlah orang yang ditangkap. KPK butuh waktu seminggu untuk menyusun skenario dengan menambah jumlah orang yang ditangkap dari 6 menjadi 7 orang.
Budi Prasetyo mengatakan, tidak ada sosok mantan Kapolres yang terjaring dalam OTT yang berlangsung pada Kamis, (26/6/2025), dalam perkara dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dan di Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumut.
KPK yang sejak awal menyampaikan informasi terkait OTT di Sumut terhadap 6 orang, akhirnya menambah penjelasan dengan detail penerbangan dari Medan ke Jakarta, dimunculkan istilah 2 kloter. Sehingga penjelasan KPK tersebut memicu kecurigaan publik atas berbagai spekulasi adanya tekanan besar terhadap KPK untuk memilah dan memilih siapa yang harus ditangkap dan siapa yang harus dilepas.
Selain perubahan jumlah yang ditangkap, publik juga menduga KPK menggeser fokus penanganan kasus luar biasa ini menjadi biasa. Jika semula tempat- tempat yang digeledah di Medan, kini bergeser ke daerah, Padangsidimpuan dan Mandailing Natal. Pergeseran tempat yang digeledah dari pusat Sumut (Medan) ke daerah diduga untuk melokalisasi dan merasionalisasi kasus, sehingga berakhir di
5 tersangka tersebut.
Jika semula KPK diapresiasi atas OTT di Sumut, maka kini publik mulai kehilangan kepercayaan kepada KPK. KPK seharusnya fokus pada bagaimana pembagian proyek di Sumut dibawah kendali tersangka Topan Obaja Putra Ginting (TOP), bukan bagaimana tersangka M Akhirun Efendi Siregar (KIR), Dirut PT. Dalihan Natolu Group (DNG) dapat proyek.
KPK seharusnya bergerak mengejar siapa yang membuat TOP dapat mengatur pemenang proyek jalan di Satker PJN Wilayah I Sumut ( perangkat Kementerian PU). KPK seharusnya mengejar “orang kuat” yang membuat TOP memiliki kapasitas melampaui jabatannya sebagai Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut. Maka yang seharusnya dikejar dan digeledah adalah Kantor Balai Pelaksana Jalan Nasional Kementerian PU, bukan kantor Dinas PUPR Pemkab Mandailing Natal.
Terkait proyek jalan yang “diberikan” tersangka TOP kepada tersangka KIR di Dinas PUPR Pemprov Sumut, sebagaimana telah dinyatakan oleh pimpinan dan Anggota Komisi D DPRD Sumut, tidak tercantum dalam APBD TA. 2025. Maka KPK perlu memanggil dan memeriksa Agus Fatoni ( Pj. Gubsu 2024) dan Effendy Pohan (Pj. Sekda 2024) yang sekaligus sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). KPK harus memeriksa keduanya terkait dokumen APBD TA. 2025 dan Pergub Penjabaran APBD TA.2025 sebagai dasar pelaksanaan seluruh kegiatan Pemprov Sumut 2025.
Jika ada kegiatan yang menggunakan anggaran tanpa tercantum di APBD TA.2025 dan Pergub Penjabaran APBD TA.2025, maka telah terjadi pelanggaran hukum. KPK seharusnya fokus pada hal- hal besar yang mengakibatkan kerugian negara akibat tindakan “suka- suka” dari penyelenggara negara.
Terhadap langkah KPK yang mulai diragukan oleh publik, perlu diberi catatan sebagai berikut:
- Perubahan jumlah yang ditangkap dalam OTT dengan identitasnya yang berubah membuat publik meyakini bahwa KPK telah mendapat tekanan dari pihak lain yang memiliki “power” lebih besar dari KPK.
- Perubahan orientasi penanganan kasus pasca OTT dari penyelenggara negara ke pihak swasta semakin membuat publik kehilangan kepercayaan kepada KPK.
- Struktur dan kultur dalam lingkup pemerintah, baik pusat maupun daerah, pasti memiliki garis komando dan garis koordinasi, maka tidak ada tindakan bawahan (ASN), dari staf hingga pejabat eselon 4,3,2, dan 1 tanpa persetujuan, petunjuk dan arahan pimpinan. Maka dapat dipastikan tindakan seluruh ASN yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pasti atas persetujuan, petunjuk dan arahan pimpinannya masing- masing. Maka KPK harus memeriksa seluruh atasan dan pimpinan dari seluruh ASN yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
- KPK diminta menghentikan seluruh akrobat dengan penggeledahan- penggeledahan pada tempat- tempat kecil, teknis. KPK harus menggeledah pusat kendali operasi dari pimpinan semua ASN yang telah ditetapkan sebagai tersangka. KPK dipastikan tidak akan menemukan fakta- fakta baru jika penggeledahan hanya dilakukan di luar Medan, baik di Padangsidimpuan, maupun di Mandailing Natal (Madina).
- Lambatnya penanganan kasus ini, setelah dua minggu tidak ada tersangka baru, atau perkembangan yang signifikan, KPK diduga sengaja memberikan waktu yang cukup bagi sutradara, aktor utama dari kasus ini untuk menghapus jejak dan menghilangkan barang bukti keterlibatannya.
- KPK harus menjelaskan hasil koordinasi KPK dengan Mabes Polri terkait penemuan 2 pucuk senjata api dalam penggeledahan rumah dan atau kantor tersangka TOP. Kepemilikan senjata api diatur dalam UU Darurat No.12 Tahun 1951, dimana kepemilikan, pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan penggunaan senjata api tanpa hak dapat dipidana.
- Patut diduga seluruh proyek yang telah, sedang dikerjakan melalui lelang di dinas yang pernah dan sedang dipimpin tersangka TOP, dimenangkan dengan cara yang sama dengan OTT. Seluruh proyek patut diduga ada pemberian hadiah atau janji dari para pemenang kepada TOP, lalu dialirkan TOP ke berbagai pihak. Maka KPK diminta untuk memeriksa seluruh proyek yang pernah dan sedang dikerjakan di dinas- dinas tersebut, serta memeriksa seluruh aliran hadiah atau janji tersebut.
- KPK diminta menawarkan dan mendorong para tersangka untuk bersedia menjadi “justice collaborator”, sehingga kasus ini terang benderang, para sutradara, aktor intelektual, dan aktor utama segera ditangkap.
(*)